Sunday 17 February 2013

HMI : Selamat Ulang Tahun "Pak Tua"


Ditengah-tengah kobaran revolusi bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan, berdirilah satu organisasi mahasiswa, tepatnya pada petang hari Rabu 5 Februari 1947, di sebelah timur Kantor Besar Pos, Jalan Candraningrat Yogyakarta. Dalam satu ruangan yang dipakai sebagai ruang kuliah mahasiswa STII (sekarang UII) berkumpul 20 orang mahasiswa Islam pencetus dan pelopornya adalah Prof. Drs Lafran Pane.
 
Pada sore itu sedang berlangsung kuliah tafsir Al-Qur’an oleh Bapak Husein Yahya, Dekan Fakultas Adab IAIN. Kepada beliau waktu itu diminta untuk dipergunakan rapat. Pada saat itu pula beliau diminta hadir oleh Lafran Pane dengan maksud agar dengan adanya beliau mahasiswa dapat tenang. Pada senja itulah lahirnya organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang telah berkiprah dalam kehidupan kemahasiswaan, kepemudaan dan kebangsaan hingga kini.
Tujuan awal pembentukan HMI pada waktu itu adalah guna turut mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia serta berikhtiar untuk turut memajukan kehidupan umat Islam dengan memberantas tahayul dan bid’ah yang melanda umat Islam dewasa itu.

Walaupun pada masa awal sejarahnya HMI sangat terlibat dalam perjuangan bersenjata untuk mempertahankan kemerdekaan nasional, namun ia telah mendapatkan wataknya sebagai sebuah organisasi mahasiswa, yaitu dengan penegasannya untuk memiliki kebebasan berpikir dan bertindak. Hal demikian penting untuk menghindari sikap membebek kepada kepentingan sesuatu golongan atau pribadi siapa pun.

Niat awal pendirian HMI pada dasarnya merupakan niat suci untuk mepertahankan Negara ini dari berbagai bentuk penjajahan, dan mengembangkan ajaran Islam secara kaffah. Dalam perjalanannya, disadari atau tidak, adanya suatu persepsi yang lahir secara perlahan bahwa demi mewujudkan misi HMI dibutuh kekuatan, sehingga lambat laun pergerakan HMI mulai memfokuskan diri pada peningkatan power organisasi.

Fokus yang terlalu besar pada peningkatan Political power HMI, menyebabkan lembaga ini mengalami pergeseran orientasi, tidak lagi berorientasi untuk mewujudkan misi HMI, melainkan sudah menjadi arena untuk belajar politik. Kondisi ini menyebabkan ketertarikan yang cukup besar bagi partai-partai politik yang ada di Indonesia untuk merekrut kader-kader binaan HMI, maka jelas bahwa parpol-parpol yang ada di Indonesia memiliki kepantingan yang cukup besar terhadap HMI. 

Bukan hanya itu, pihak asing yang memiliki kepentingan di Indonesia juga memiliki kepentingan yang cukup besar terhadap HMI, karena HMI merupakan lembaga pengkaderan terbesar di Indonesia, yang paling menggemparkan tentu saja Sekjen PB HMI Basri Dodo yang didaulat oleh MPK PB HMI sebagai Pj. Ketua Umum tertangkap kamera sedang mengikuti perayaan hari ulang tahun Israel di singapurabersama Arip Musthopa dan Ferry Mursyidan Baldan (dua-duanya mantan ketum PB HMI), hal ini yang paling mengkhawatirkan, karena kita semua tahu bahwa Indonesia sendiri tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel.
Imbasnya tentu saja pada terciptanya dinamika yang tidak sehat di HMI, terutama pada momentum-momentum regenerasi mulai dari tingkat Pengurus Besar sampai ke Badan Koordinasi, hingga ke cabang-cabang. Biasanya parpol-parpol mendukung masing-masing kandidat yang maju pada suksesi kepemimpinan di HMI, dengan kekuatan financial dari setiap parpol membuat “pesta demokrasi” di HMI sarat dengan politik uang (money politic). Ini merupakan dinamika ala partai yang tidak layak dianut oleh lembaga pengkaderan mahasiswa seperti HMI yang seharusnya steril dari kepentingan politik praktis.

Lebih menyedihkan karena hal ini menyebabkan keterpecahan di tubuh HMI hampir di setiap momentum regenerasi kepemimpinan HMI. Perpecahan yang paling parah terjadi di periode kepengurusan PB HMI 2010-2012 di bawah kepemimpinan Noer fajrieansyah, dimana terbelahnya HMI menjadi tiga blok politik, kubu Dwi Julian Cs, Sekjen Basri dodo cs, dan ketum Noerfajrieansyah cs, saya katakana perpecahan kali ini yang terparah karena imbas yang begitu besar terhadap cabang-cabang se-nusantara, berbeda dengan perpecahan di tahun-tahun sebelumnya yang tidak sampai membuat cabang-cabang terkotak-kotak dan terjebak dalam pusaran politik HMI di tingkat nasional.  

Apa karena HMI telah menjadi organisasi super borjuis? Lihat saja, ketika kongres misalnya, ratusan mobil mewah memadati arena. Puluhan hotel menjadi base camp para kandidat dan pendukungnya. Serta, uang berputar di arena kongres tidak kurang dari hitungan Miliaran rupiah.

HMI telah berafiliasi politis. Barangkali isu dan berbagai pelanggaran aturan organisasi, sebagaimana yang dikemukakan di atas, belum tentu benar. Pasalnya, bisa jadi itu bagian dari strategi lawan politik untuk membunuh sang ketua umum dan antek-anteknya. Pertanyaan berikutnya, kenapa harus sekasar itu?Terlepas dari benar atau tidak, keduanya sama-sama memberikan kontribusi untuk kehancuran HMI. Sehingga banyak kalangan yang tak segan-segan mengatakan, “saatnya HMI dibubarkan”.

Sebetulnya, ini sejarah yang berulang. DN. Aidit, pemimpin PKI pernah mengatakan “bubarkan HMI”di hadapan ribuan kader Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) pada kongres organisasi mahasiswa bawahan PKI tersebut. Kemudian, Mantan ketua umum PB HMI, Nurcholis Madjid, juga pernah mengatakan bubarkan HMI. Akan tetapi, DN. Aidit sebagai seorang PKI sangat berbeda konteks dengan Nurcholis Madjid disaat mengatakan “bubarkan HMI”.  
DN Aidit, hanya persoalan kekuasaan, karena HMI jelas-jelas menentang PKI, karena HMI dianggap rival yang hebat untuk menghentikan gerakan PKI ketika itu. Sedangkan Nurcholis Madjid berbicara dalam konteks internal karena HMI dalam pandangannya sudah melenceng dari khittah perjuangan. Karena alasan money politik dalam kongres HMI. Begitupun alasannya hari ini. Isu “bubarkan HMI” tidak lain dan tidak bukan karena melemahnya moral spiritual, melencengnya gerakan dari khittah perjuangan, yang sesungguhnya mencoreng marwah HMI itu sendiri. 
 
Dari semula HMI didirikan, tidak berafiliasi terhadap politik dan kekuasaan, sekarang seolah-olah HMI tervirusi. Bagaimana lagi mengurus umat dan bangsa jika persoalan intern tak kunjung sudah. Bukankah dalam ajaran agama, dimulai dari diri, dan keluarga? kuu anfusikum waahlikumnara!

Saturday 16 February 2013

Jusuf Kalla : Setiap Kata Menentukan Siapa Dirimu


Cerita ini berdasarkan kisah nyata sang penulis yang kebetulan mengikuti rombongan wapres ke Afrika Selatan pada bulan September 2005 dalam kunjungannya untuk menerima penghargaan dari wapres di sana dan sekaligus studi banding pemuda..

Pada masa itu eskalasi "kemarahan" rakyat sedang memanas terkait rencana kenaikan signifikan harga BBM sepanjang sejarah perminyakan tanah air.

Di sinilah penulis melihat bagaimana sang wapres menjawab protes dan kritikan seorang pemuda di suatu acara sarapan pagi eksklusif antara wapres dan pemuda di sela-sela agenda kenegaraannya selama di Afsel.

Kalimat sahabat saya itu kira2 demikian, "Mohon Bapak tidak berpikir bahwa dengan membawa kami, anak2 muda, kesini, kami semua akan setuju dengan rencana pemerintahan Bapak untuk menaikkan harga BBM begitu kita pulang nanti".


Saya melihat bagaimana reaksi wapres saat itu. Ia hanya tersenyum santai sarat makna di wajahnya. Sang wapres kemudian berkata, "Saya membawa Anda semua ke sini tidak untuk tujuan itu. Anda mendukung saya atau tidak bukan urusan saya. Yang saya pertimbangkan ketika mengundang Anda kemari adalah kalau saya datang sendiri, toh pesawatnya sama saja. Daripada kursi kosong melompong, lebih baik saya membawa Anda melakukan studi banding demi kemajuan pemuda, bangsa, dan negara".

Jawaban yang lugas dan tepat mengenai sasaran pertanyaan yang di ajukan. Karena melihat yang di ajak bicara oleh sang wapres adalah seorang mahasiswa yang mengaku dirinya idealis, maka itu adalah jawaban yg paling tepat.

Bahkan ada beberapa quotenya yang cukup terkenal didalam maupun luar negeri seperti contohnya :


"A government is not functional unless the economy is running well. Political designs automatically follow the level of (a nation's) prosperity, meaning that if the people are getting poorer, then there will be a greater demand for political change."
 


"Pemerintah tidak akan berfungsi dengan baik kecuali perekonomian berjalan dengan baik. Desain Politik otomatis mengikuti tingkat kesejahteraan (suatu negara), yang berarti bahwa jika banyak orang-orang semakin miskin, maka akan ada permintaan yang lebih besar untuk perubahan politik."