Ditengah-tengah
kobaran revolusi bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan,
berdirilah satu organisasi mahasiswa, tepatnya pada petang hari Rabu 5 Februari 1947, di sebelah timur Kantor Besar Pos, Jalan Candraningrat Yogyakarta. Dalam satu ruangan yang dipakai sebagai ruang kuliah mahasiswa STII (sekarang UII) berkumpul 20 orang mahasiswa Islam pencetus dan pelopornya adalah Prof. Drs Lafran Pane.
Pada sore itu sedang berlangsung kuliah tafsir Al-Qur’an oleh Bapak Husein Yahya,
Dekan Fakultas Adab IAIN. Kepada beliau waktu itu diminta untuk
dipergunakan rapat. Pada saat itu pula beliau diminta hadir oleh Lafran
Pane dengan maksud agar dengan adanya beliau mahasiswa dapat tenang.
Pada senja itulah lahirnya organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang telah berkiprah dalam kehidupan kemahasiswaan, kepemudaan dan kebangsaan hingga kini.
Tujuan
awal pembentukan HMI pada waktu itu adalah guna turut mempertahankan
kemerdekaan bangsa Indonesia serta berikhtiar untuk turut memajukan
kehidupan umat Islam dengan memberantas tahayul dan bid’ah yang melanda
umat Islam dewasa itu.
Walaupun pada masa awal sejarahnya HMI sangat terlibat dalam perjuangan bersenjata untuk mempertahankan kemerdekaan nasional, namun ia telah mendapatkan
wataknya sebagai sebuah organisasi mahasiswa, yaitu dengan penegasannya
untuk memiliki kebebasan berpikir dan bertindak. Hal demikian penting
untuk menghindari sikap membebek kepada kepentingan sesuatu golongan
atau pribadi siapa pun.
Niat awal pendirian HMI pada dasarnya merupakan niat suci
untuk mepertahankan Negara ini dari berbagai bentuk penjajahan, dan
mengembangkan ajaran Islam secara kaffah. Dalam perjalanannya, disadari
atau tidak, adanya suatu persepsi yang lahir secara perlahan bahwa
demi mewujudkan misi HMI dibutuh kekuatan, sehingga lambat laun
pergerakan HMI mulai memfokuskan diri pada peningkatan power
organisasi.
Fokus yang terlalu besar pada peningkatan Political power
HMI, menyebabkan lembaga ini mengalami pergeseran orientasi, tidak lagi
berorientasi untuk mewujudkan misi HMI, melainkan sudah menjadi arena
untuk belajar politik. Kondisi ini menyebabkan ketertarikan yang cukup
besar bagi partai-partai politik yang ada di Indonesia untuk merekrut
kader-kader binaan HMI, maka jelas bahwa parpol-parpol yang ada di
Indonesia memiliki kepantingan yang cukup besar terhadap HMI.
Bukan hanya itu, pihak asing yang memiliki kepentingan di Indonesia juga memiliki kepentingan yang cukup besar terhadap HMI, karena HMI merupakan lembaga pengkaderan terbesar di Indonesia, yang paling menggemparkan tentu saja Sekjen PB HMI Basri Dodo yang didaulat oleh MPK PB HMI sebagai Pj. Ketua Umum tertangkap kamera sedang mengikuti perayaan hari ulang tahun Israel di singapurabersama Arip Musthopa dan Ferry Mursyidan Baldan (dua-duanya mantan ketum PB HMI), hal ini yang paling mengkhawatirkan, karena kita semua tahu bahwa Indonesia sendiri tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel.
Imbasnya tentu saja pada terciptanya dinamika yang tidak sehat di HMI, terutama pada momentum-momentum regenerasi mulai dari tingkat Pengurus Besar sampai ke Badan Koordinasi, hingga ke cabang-cabang. Biasanya parpol-parpol mendukung masing-masing kandidat yang maju pada suksesi kepemimpinan di HMI, dengan kekuatan financial dari setiap parpol membuat “pesta demokrasi” di HMI sarat dengan politik uang (money politic). Ini merupakan dinamika ala partai yang tidak layak dianut oleh lembaga pengkaderan mahasiswa seperti HMI yang seharusnya steril dari kepentingan politik praktis.
Lebih menyedihkan karena hal ini menyebabkan keterpecahan di tubuh HMI hampir di setiap momentum regenerasi kepemimpinan HMI. Perpecahan yang paling parah terjadi di periode kepengurusan PB HMI 2010-2012 di bawah kepemimpinan Noer fajrieansyah, dimana terbelahnya HMI menjadi tiga blok politik, kubu Dwi Julian Cs, Sekjen Basri dodo cs, dan ketum Noerfajrieansyah cs, saya katakana perpecahan kali ini yang terparah karena imbas yang begitu besar terhadap cabang-cabang se-nusantara, berbeda dengan perpecahan di tahun-tahun sebelumnya yang tidak sampai membuat cabang-cabang terkotak-kotak dan terjebak dalam pusaran politik HMI di tingkat nasional.
Apa karena HMI telah menjadi organisasi super borjuis? Lihat saja, ketika kongres misalnya, ratusan mobil mewah memadati arena. Puluhan hotel menjadi base camp para kandidat dan pendukungnya. Serta, uang berputar di arena kongres tidak kurang dari hitungan Miliaran rupiah.
Sebetulnya, ini sejarah yang berulang. DN. Aidit, pemimpin PKI pernah mengatakan “bubarkan HMI”di hadapan ribuan kader Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) pada kongres organisasi mahasiswa bawahan PKI tersebut. Kemudian, Mantan ketua umum PB HMI, Nurcholis Madjid, juga pernah mengatakan bubarkan HMI. Akan tetapi, DN. Aidit sebagai seorang PKI sangat berbeda konteks dengan Nurcholis Madjid disaat mengatakan “bubarkan HMI”.
DN Aidit, hanya persoalan kekuasaan, karena HMI jelas-jelas menentang PKI, karena HMI dianggap rival yang hebat untuk menghentikan gerakan PKI ketika itu. Sedangkan Nurcholis Madjid berbicara dalam konteks internal karena HMI dalam pandangannya sudah melenceng dari khittah perjuangan. Karena alasan money politik dalam kongres HMI. Begitupun alasannya hari ini. Isu “bubarkan HMI” tidak lain dan tidak bukan karena melemahnya moral spiritual, melencengnya gerakan dari khittah perjuangan, yang sesungguhnya mencoreng marwah HMI itu sendiri.
Dari semula HMI didirikan, tidak berafiliasi terhadap politik dan kekuasaan, sekarang seolah-olah HMI tervirusi. Bagaimana lagi mengurus umat dan bangsa jika persoalan intern tak kunjung sudah. Bukankah dalam ajaran agama, dimulai dari diri, dan keluarga? kuu anfusikum waahlikumnara!