Sesungguhnya tidak ada dalil yang
mengharuskan jika setelah menunaikan ibadah haji harus diberi gelar
haji/hajjah. Bahkan sahabat Rasulullah pun tidak ada yang dipanggil haji. Bahkan sebenarnya gelar Haji hanya digunakan oleh bangsa Melayu saja, di negara-negara arab juga tidak familiar dengan sebutan haji bagi orang yang sudah menunaikan ibadah haji.
Sejarah pengenalan panggilan haji dimulai pada tahun 654 H, pada saat kalangan
tertentu di kota Makkah bertikai dan pertikaian ini menimbulkan
kekacauan dan fitnah yang mengganggu keamanan kota Makkah. Karena kondisi yang tidak kondusif
tersebut, hubungan kota Makkah dengan dunia luar terputus, ditambah
kekacauan yang terjadi, maka pada tahun itu ibadah haji tidak bisa
dilaksanakan sama sekali, bahkan oleh penduduk setempat juga tidak bisa melakukan rukun Iman yang ke 5 tersebut pada tahun itu.
Pemondokan Jama'ah Haji Dahulu
Setahun kemudian setelah keadaan mulai membaik, ibadah haji dapat
dilaksanakan. Tapi bagi mereka yang berasal dari luar kota Makkah selain
mempersiapkan mental, mereka juga membawa senjata lengkap untuk
perlindungan terhadap hal-hal yang tidak di inginkan. Dengan perlengkapan
ini para jema'ah haji di ibaratkan mau berangkat ke medan perang.
Sekembalinya mereka dari ibadah haji, mereka disambut dengan upacara
kebesaran bagaikan menyambut pahlawan yang pulang dari medan perang.
Dengan kemeriahan sambutan dengan tambur dan seruling, mereka
dielu-elukan dengan sebutan “Ya Hajj, Ya Hajj”.
Kota Mekkah Tahun 1909
Di zaman penjajahan belanda, pemerintahan kolonial sangat membatasi
gerak-gerik umat muslim dalam berdakwah, segala sesuatu yang berhubungan
dengan penyebaran agama terlebih dahulu harus mendapat ijin dari pihak
pemerintah belanda. Mereka sangat khawatir dapat menimbulkan rasa
persaudaraan dan persatuan di kalangan rakyat pribumi, lalu menimbulkan
pemberontakan.
Hal ini dikarenakan banyak tokoh yang kembali ke tanah air sepulang naik Haji
membawa perubahan. Contohnya adalah Muhammad Darwis yang pergi haji dan
ketika pulang mendirikan Muhammadiyah, Hasyim Asyari yang pergi haji dan
kemudian mendirikan Nadhlatul Ulama, Samanhudi yang pergi haji dan
kemudian mendirikan Sarekat Dagang Islam, Cokroaminoto yang juga berhaji
dan mendirikan Sarekat Islam.
Hal-hal seperti inilah yang merisaukan pihak Belanda. Maka salah satu
upaya Belanda untuk mengawasi dan memantau aktivitas serta gerak-gerik
ulama-ulama ini adalah dengan mengharuskan penambahan gelar haji di
depan nama orang yang telah menunaikan ibadah haji dan kembali ke tanah
air. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintahan Belanda
Staatsblad tahun 1903. Pemerintahan kolonial pun mengkhususkan Pulau Onrust
dan Pulau Khayangan di Kepulauan Seribu jadi gerbang utama jalur lalu
lintas perhajian di Indonesia.
Bahkan pemerintah Hindia Belanda mengirimkan mata-matanya ke kota Jeddah untuk mengetahui cara memperlemah perlawanan Rakyat Indonesia yang banyak di dukung oleh Ulama sepulangnya dari Ibadah haji, maka di kirimlah Snouck Hurgronje seorang dosen dari sebuah Institut Belanda yang mempelajari kultur negara jajahan Belanda.
Pada saat itu pula, ia menyatakan ke-Islam-annya dan mengucapkan
Syahadat di depan khalayak dengan memakai nama Abdul Ghaffar. Seluruh aktivitas Snouck
selama di Saudi tercatat dalam dokumen-dokumen di Universitas Leiden,
Belanda. Snouck menetap di Mekah selama enam bulan dan disambut hangat oleh
seorang ‘Ulama besar Mekah, yaitu Waliyul Hijaz. Ia lalu kembali ke
negaranya pada tahun 1885.
Snouck Hugronje Berjalan Bersama salah satu Raja Arab Saudi
Snouck Hugronje
Selama di Arab Saudi Snouck memperoleh data-data
penting dan strategis bagi kepentingan pemerintah penjajah (kelak dari data inilah pemerintah Belanda berhasil menghancurkan dan membersihkan perlawanan rakyat Aceh dan menguasai Aceh sepenuhnya). Informasi
itu ia dapatkan dengan mudah karena tokoh-tokoh Indonesia yang ada di
sana sudah menganggapnya sebagai saudara seagama. Snouck Hurgronje juga menjadi orang Eropa pertama pada abad ke 20 yang mendokumentasikan kota Mekah melalui foto, yang saat ini disimpan di sebuah museum di Belanda.
Rakyat Aceh yang tertawan ketika peperangan Aceh
Berdasarkan laporan dan data Snouck Hurgronje ini juga maka diberikanlah gelar Haji oleh pemerintahan
kolonial dengan penambahan gelar huruf “H” pada passpor atau surat tanda penduduk yang di keluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda yang berarti orang tersebut
telah naik haji ke mekah untuk memudahkan pemantauan dan pengawasan terhadap orang-orang yang berpotensi menimbulkan pemberontakan terhadap Pemerintah Hindia Belanda. Seperti disinggung sebelumnya, banyak tokoh
yang membawa perubahan sepulang berhaji, maka pemakaian gelar H akan
memudahkan pemerintah kolonial untuk mengidentifikasi dan mengawasi orang tersebut apabila
terjadi pemberontakan.
KTP jaman Hindia Belanda
Berdasarkan sudut pandang Islam maka segala gelar yang disandang seseorang sesungguhnya menunjukkan bahwa orang tersebut menginginkan sebuah pengakuan atas sebuah pencapaiannya, dan sesungguhnya dia telah berbuat riya’ dan sum’ah pada hajinya. Maka menggelari dengan “Haji” ini membuka pintu-pintu riya’, sum’ah dan kesyirikan. Di mana seorang merasa hebat, merasa bangga, ‘ujub,
merasa kagum dengan dirinya ketika dia sudah haji, atau ingin diketahui
bahwa dia sudah haji. Ini semua merupakan wasilah yang bisa
menghantarkan kepada kesyirikan.
Seperti telah dijelaskan dalam Al Qur'an Surah Al Baqarah 2:264 & Al-Anfal 8:47 sebagai berikut :
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) ibadahmu dengan menyebut- nyebutnya karena itu menyakiti, seperti orang yang menafkahkan hartanya karena ada niat untuk riya kepada
manusia” (QS Al-Baqarah 2:264)
"dan janganlah kamu menjadi seperti
orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud
riya' kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah. dan (ilmu)
Allah meliputi apa yang mereka kerjakan" (QS Al-Anfal 8:47)
No comments:
Post a Comment
Terima Kasih Untuk Commentnya :)