Sosok AM Hendropriyono
diingat publik sebagai Komandan Korem Garuda Hitam saat terjadi
peristiwa Gerombolan Pengacau Keamanan Warsidi di Lampung, yang di
kalangan aktivis hak asasi manusia disebut peristiwa Talangsari tahun
1989, dan kepemimpinannya di Badan Intelijen Negara. Dia sejatinya
adalah prajurit Para Komando dengan kemampuan di bidang Sandi Yudha,
yakni operasi intelijen tempur di garis belakang lawan pada 1969-1972
di belantara Kalimantan Barat- Sarawak.
Para Jend (Purn) Kopassus
Sepak terjang
Hendropriyono sebagai serdadu profesional dia ungka dalam buku Operasi
Sandi Yudha Menumpas Gerakan Klandestin, yang mengisahkan pengalaman
lapangan menumpas Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak (PGRS) dan Pasukan
Rakyat Kalimantan Utara (Paraku) yang dibentuk semasa Konfrontasi
Ganyang Malaysia (1963-1966) oleh intelijen Indonesia era Presiden
Soekarno.
”Ini kita (TNI) melatih Tentara Nasional Kalimantan
Utara dan PGRS di Surabaya, Bogor, dan Bandung. Akhirnya, setelah
pergantian pemerintah, Presiden Soeharto memutuskan berdamai dengan
Malaysia dan gerilyawan tersebut diminta meletakkan senjata. Karena
PGRS tidak menyerah, terpaksa kita sebagai guru harus menghadapi murid
dengan bertempur di hutan rimba Kalimantan,” kata Hendropriyono.
KTA Tentara Kalimantan Utara Hasil didikan Indonesia
Pada
awal 1960-an, rezim Orde Lama bersama Presiden Macapagal dari Filipina
mempertanyakan pembentukan Malaysia yang dinilai sebagai pemain
neokolonialisme Inggris. Macapagal sempat mengusulkan pembentukan
Maphilindo, semacam federasi Malaysia, Filipina, dan Indonesia yang
memiliki kesamaan kultural Melayu. Soekarno jauh lebih progresif dan
memilih berkonfrontasi langsung dalam sebuah perang tidak resmi melawan
Malaysia dan Persemakmuran Inggris (British Commonwealth).
Tentara Kalimantan Utara
Perang
tidak resmi tersebut berlangsung sengit, terutama di rimba Kalimantan
dari perbatasan Kalimantan Barat-Kalimantan Timur dengan Sarawak dan
Sabah. Kerasnya pertempuran itu bisa ditemukan dalam beragam artefak
perang dan temuan jenazah di hutan belantara Kalimantan. Beberapa tahun
silam, misalnya Kolonel Fred Dangar dari misi militer Kedutaan Besar
Australia di Jakarta bersama Mabes TNI berhasil mengidentifikasi sisa
kerangka dua prajurit Australia, termasuk seorang di antaranya anggota
pasukan elite Special Air Service Regiment.
Korban Dari Pihak Gereliyawan
Situasi politik yang
berubah 180 derajat menempatkan TNI harus melucuti bekas muridnya.
Setelah peristiwa Mangkok Merah akhir 1967, yakni kerusuhan masyarakat
Dayak-Tionghoa, Letnan Satu (Inf) Hendropriyono yang baru menyelesaikan
pendidikan komando di Batujajar, Bandung, kebagian tugas bergerilya
menghabisi bekas sekutu TNI. Sandi Yudha adalah satuan intelijen tempur
dari Resimen Para Komando Angkatan Darat, yang kini dikenal sebagai
Komando Pasukan Khusus.
Bekas sekutu TNI antara lain PGRS-Paraku,
yang sebagian anggotanya adalah pemuda Tionghoa di Sarawak, Sabah,
Brunei, dan Kalimantan wilayah Indonesia, termasuk suku Dayak, Melayu,
dan Jawa. Ketua Partai Komunis Indonesia Kalimantan Barat kala itu,
ujar Hendropriyono, adalah Syarif Ahmad Sofyan Al Barakbah, yang juga
memimpin Pasukan Barisan Rakyat.
Bekas Para Pimpinan PGRS dan Paraku
Namun, demi mempermudah operasi
penumpasan bekas sekutu tersebut—sesuai konteks Perang Dingin—di mana
rezim Soeharto bersikap antikomunis, pihak lawan disebut sebagai
Gerombolan Tjina Komunis. Hal ini dilakukan agar lebih mudah meraih
simpati publik dengan mengasosiasikan Tionghoa dengan Republik Rakyat
Tiongkok yang komunis. Sebaliknya, di pihak Malaysia yang sudah berdamai
dengan Indonesia, gerilyawan tersebut diberi cap ”CT” (communist
terrorist).
Tugas utama pasukan Sandi Yudha dalam perang
nonkonvensional tersebut, menurut Hendropriyono, tidak terikat dengan
konvensi internasional dan hukum humaniter perang. Sebisa mungkin
pihaknya mengambil hati lawan, sedangkan pertempuran serta tindakan
keras hanya menjadi pilihan terakhir.
Saat menaklukkan Hassan,
seorang komandan PGRS, Hendropriyono harus menembak lalu membanting
lawan dengan gerakan bela diri. Pertempuran lawan satu jarak dekat itu
mengakibatkan pahanya tertembus sangkur dan jemarinya sobek karena
menahan sangkur Hassan yang nyaris menghunjam dada.
AM Hendropriyono
Hendropriyono
memimpin unit Sandi Yudha dengan anggota delapan orang yang selalu
bergerak dalam jumlah kecil di garis belakang lawan. Saat mengendap
mendekati gubuk Hassan yang berlangsung semalaman, salah satu anggota
Sandi Yudha harus membunuh dengan sangkur seorang penjaga gubuk yang
bersenjata api. Semua harus dilakukan dengan senyap dan penuh kejutan
(element of surprise).
Selain bertempur, Hendropriyono dan
pasukan Sandi Yudha juga berulang kali berhasil membuat musuh jadi
bersimpati kepada Republik Indonesia. Kalau terpaksa, penculikan dan
interogasi dilakukan di lapangan. Salah satu peristiwa yang
mengharukan adalah pertemuan dengan Komandan PGRS Wong Kee Chok pada
tahun 2005. Hendropriyono dan Kee Chok berpelukan, menangis, dan saling
menanyakan keadaan. Saat peluncuran buku Operasi Sandi Yudha, Bong Kee
Siaw, salah seorang komandan PGRS yang hadir, dan istrinya yang juga
bergerilya disambut hangat oleh Hendropriyono. Hendropriyono memuji Kee
Siaw dan istrinya yang bersifat kesatria. Dalam sebuah pertempuran,
mereka menyelamatkan dan mengobati musuh (prajurit TNI).
”Kita
tidak pernah tahu kapan jadi kawan dan situasi berubah, lalu jadi
lawan. Bertempurlah dengan kesatria. Jangan menyiksa lawan. Itu sifat
prajurit Sandi Yudha,” ujar Hendropriyono.
kalau mau bertempur secara ksatria ...cari lawan yang seimbang...jangan lawan pasukan militia rakyat...terus cuci tangan pakai dayak ...itu orang dayak yang bunuh juga pasukan indonesia...
ReplyDeletebiar dayak kalau mampu (punya ilmu prajurit) kayak pasukan indonesia... ya sama aja Bang!!!
ReplyDeletewow dayak hebat bunuh gebuk tentara indonesia!!!
ReplyDeletepasukan hitam vs militia hitam...gelap bang!!!
ReplyDelete