Musibah hilangnya pesawat Boeing 777-200 maskapai penerbangan
Malaysia Air System bernomor registrasi MH-370 berisi 239 orang
penumpang dan kru mengingatkan kita akan hilangnya pesawat Adam Air di
sekitar perairan Mamuju Sulawesi Barat beberapa tahun yang lalu, namun
ini dengan ukuran pesawat yang lebih besar dan juga melibatkan lebih
banyak Negara dalam operasi pencarian pesawat yang diklaim paling intens
dan paling menggerunkan sepanjang sejarah kecelakaan pesawat.
Kita semua tentunya ikut merasa prihatin atas kejadian ini, dan
berharap semoga, apapun yang terjadi, kondisinya dapat segera diketahui
dan diumumkan kepada khalayak. Namun, apa yang dipertontonkan oleh
pemerintah Malaysia seperti jauh panggang dari api. Beberapa keluarga
korban, terutama warga china yang kerabatnya paling banyak tercatat
sebagai penumpang, menganggap pemerintah Malaysia seakan menutup-nutupi
beberapa informasi penting.
Kita tahu bahwa beberapa dekade kebelakang, pemerintah negeri jiran
ini berusaha menarik perhatian kalangan bisnis dan pariwisata melalui
berbagai advertorial baik di media internasional, bahkan di media-media
lokal yang ada di Negara-negara lain. Maka, kagumlah semua bangsa ketika
berbondong-bondong investasi dan arus wisatawan membanjiri negeri di
semenanjung Malaya dan utara Kalimantan itu.
Kuala Lumpur
Namun, ketika kini, semua mata memandang ke “tetangga yang berisik”
di utara ini tanpa harus memasang reklame, ketika pandangan dunia
mengerucut pada hilangnya pesawat tersebut, yang terjadi adalah,
pemerintah Malaysia seperti salah tingkah. Persis ketika seorang pemuda
yang sering narsis dan caper di hadapan cewek-cewek cantik, tiba-tiba
mendapat sorotan dan blitz kamera bertubi-tubi tanpa persiapan sama
sekali, Demam Panggung!
Kita masih ingat kejadian tahun lalu ketika milisi Sulu menyerbu
Lahat Datu Sarawak, berhari-hari sang pemuda narsis (Negara Malaysia) tersebut bingung mau
dihadapi dengan cara apa, dan kemudian ketika saatnya bertindak, Seluruh dunia
tercengang bahwa mereka menggunakan pesawat tempur dengan
kemampuan air-superiority (Pesawat Su-30) melawan pejuang yang hanya mengandalkan pistol
dan senapan serbu, seperti meriam untuk membunuh seekor lalat, sangat
berlebihan alias "lebay" kata cabe-cabean dan anak-anak genk motor.
Tentunya bukan hanya Malaysia saja yang seperti itu. Dulu saat
Tsunami dan kemudian terjadi peristiwa Adam Air, pemerintah Indonesia
juga terkesan kalang-kabut dan hanya bisa melongo melihat intensitas
bantuan dan operasi penyelamatan besar-besaran yang dilakukan negara-negara sahabat dengan peralatan militer superior modern, yang
membedakan diantara kedua pemuda kampung ini mungkin hanyalah, Indonesia
menerima segala bantuan tersebut dan berpasrah diri sebagai pemuda kampung
yang belum tau apa-apa. Sebaliknya, pemuda jiran di utara itu,
menghadapi sorotan blitz dunia internasional dengan lebay sekaligus Jaim
dengan tujuan untuk menutupi kekurangannya.
Aceh Sesaat Setelah Tsunami
Semakin besar perhatian media, semakin terbukalah borok dan topeng
yang selama ini melanda birokrasi Malaysia. Dimulai dari tidak konsistennya pejabat Malaysia yang mengakibatkan informasi yang menjadi simpang
siur. Perbedaan info dan kesenjangan data mengenai penumpang, bagasi,
detail teknis dll yang disampaikan pejabat yang sangat berlainan (dalam skala 1 sampai 10 Malaysia dapat nilai 11). Hingga
masalah pribadi kru terutama kopilot yang pernah membawa perempuan masuk
kokpit selama penerbangan sebelumnya memaksa si Jaim untuk menambal
semua borok yang sudah mengakar di lingkungan pemerintahan dan BUMN Malaysia.
Pemerintah Malaysia juga terkesan menutup-nutupi adanya kesenjangan
dengan pihak militer, padahal dengan kelengkapan radar militer yang
canggih (radar primer), seharusnya tracking pergerakan pesawat segede gaban itu bukan sesuatu hal yang terlampau sulit. Ini membuat beberapa
pemerintah Negara tetangga yang terlibat dalam operasi pencarian menjadi
meradang atas ketidak-becusan kepemimpinan pejabat Malaysia dalam
mengorganisasi dan mengkoordinir kerjasama militer dari 12 negara.
Hari Rabu kemarin (12/3/2014), pemerintah Vietnam mengurangi kegiatan
pencarian oleh kapal-kapal angkatan lautnya, meski masih menyisakan
pesawat-pesawatnya membantu operasi. Ini akibat dari pernyataan pejabat
Malaysia yang menarik ucapannya mengenai apakah pesawat masih di sekitar
teluk Thailand, atau sudah berbalik dan melintasi selat malaka (pejabat
yang menangani lalu-lintas udara mengatakan bahwa radar militer melihat
pesawat membalik arah, tetapi pejabat angkatan udara justru
membantahnya). Keadaannya kini ibarat alat dan tenaga terampil sudah
tersedia, namun sang mandor bingung mau mulai darimana.
Tentu ulasan ini tidak bermaksud ingin menambah kesusahan keluarga
para korban dan seperti menari-nari diatas penderitaan orang lain. Namun
penulis hanya mengingatkan bahwa di era komunikasi digital ini, semua
Negara harus bersiap bukan hanya untuk menarik devisa melalui pariwisata
dan menarik investor asing, namun juga harus mempersiapkan diri
menghadapi segala konsekuensi akibat semakin intensnya perhatian dunia
kepada Negara sendiri.
Kita dapat berkaca dari masing-masing tindakan yang diambil kedua
Negara bertetangga ini menyikapi terjadinya masalah yang berlingkup
global. Setelah Tsunami, Indonesia membentuk BNPB yang mengkoordinir
semua badan-badan pemerintah ditambah bantuan swasta jika terjadi
bencana alam. Begitupun setelah hilangnya Adam Air, pemerintah membentuk
KNKT yang bertanggung-jawab penuh atas segala upaya pencarian,
penyelamatan, investigasi dan lain-lain. Kedua badan tersebut,
diharapkan sanggup menjadi pemimpin skala besar ketika harus mengepalai
operasi gabungan dari banyak Negara.